"Selamat datang di blognya val.... menemukan berbagai cerita cinta dan tips cinta

Minggu, 15 Maret 2009

cerpen

neh cerpen kiriman dr temen forum.....

RIVAL SEJATI

By Sarimoon

Renata..Ya nama itu. Kalau mendengar nama itu, aku pasti mengingat seseorang. Ketika ku mendengar seorang presenter infotainment di televisi menyebut nama dirinya Renata, pikiranku langsung mengarah kepada seseorang yang sangat ku kenal. Ketika adikku cerita soal seorang gurunya yang bernama Renata, lagi-lagi aku ingat orang yang sama. Lalu ketika aku membaca nama seorang model di majalah yang namanya (kebetulan) Renata, ya..aku makin menjadi-jadi ingat kepada seseorang yang benar-benar kukenal luar-dalam. Ya, Renata itu. Seorang Renata yang selalu ada di hati…

Tapi jangan salah sangka. Aku tak mau ada yang menafsirkan kami punya hubungan spesial. Ih..BUKAN!!! Bukan karena Renata itu sahabatku. Bukan pula teman curhatku. Apalagi teman sehati. Bukan! Bukan! Kupastikan, kalau dia bukan orang yang paling dekat denganku. Melainkan teman yang bukan teman. Dia memang selalu menjadi pikiranku. Makanya selalu ada di dalam hati.

Aku mengenalnya sejak SMU. Dia bukan teman sekelas. Awalnya aku tahu dia, hanya sekedar nama saja. Hingga kemudian kami saling mengenal satu sama lain dalam organisasi OSIS pastinya. Kami sama-sama masuk dalam divisi kesenian. Aku suka musik, sastra dan segala yang namanya seni. Renata begitu juga. Karena kami satu divisi, kami suka diskusi. Tapi diskusi yang alot dan saling berebut argumen. Kami saling berebut perhatian siapa saja. Bukan saja soal organisasi, melainkan sampai bersaing dalam soal nilai pelajaran, rangking, merebutkan PMDK - sistem lolos masuk perguruan tinggi negeri tanpa ujian UMPTN/SPMB lagi- dan merebut perhatian Anjas, cowok yang menurut kami paling oke di sekolahan. Kami jelas-jelas mengakui kalau kami saling bersaing. Tak ada yang kami tutup-tutupi. Bahkan tak ada yang berani mendamaikan kami. Benar-benar gila kalau mengingat itu.

Ya..kejadian itu sudah sepuluh tahun lalu. Sudah lama, memang. Untungnya kami tidak satu kampus. Aku merebut bangku di perguruan tinggi negeri di Depok. Dan Renata memilih kuliah di Boston, Amrik. Padahal kalau dia mau, dia juga lulus dan masuk di kampus yang sama denganku. Untung dia memilih patuh pada perintah ayahnya, jadilah dia tinggal di Amrik sekian lamanya. Kuliah dan sempat bekerja disana. Syukurlah..aku tidak pernah bertemu dengan sosoknya lagi. Hingga rasa lega itu harus ku tahan dulu, karena kini..sosok Renata ada di hadapanku..

Aku sempat terkesiap. Tidak menyangka akan bertemu dia kembali. Bukan suatu hal yang menyenangkan. Mengapa harus bertemu dengan dia lagi? Pasti dia punya pikiran yang sama denganku. Aku kenal sekali Renata. Walau kini penampilannya berbeda dengan masa sekolah dulu. Tapi dia tetap Renata yang kukenal. Hanya rambut panjangnya yang hitam legam dulu suka dikuncir kuda, kini dibiarkannya tergerai lepas. Kini dia ber-make up. Wajahnya yang tirus, dagunya yang tajam, alisnya yang bak semut beriringan, bola matanya yang kecil, dan pipinya yang bersih mulus tampak lebih ‘berwarna’. Tubuhnya yang tinggi semampai dulu memang bongsor diantara teman-teman yang lain. Tapi sekarang jadi tampak menarik bak peragawati. Apalagi blazer yang dikenakannya juga menambah pesona seorang Renata. Walau aku tidak ingin (dan jangan sampai) terpesona dengan penampilannya sekarang itu.

“Renata…” aku menyebutkan namanya hampir berbisik. Perempuan itu menatapku tajam. Kami saling memandang seperti mata elang yang baru saja melihat mangsanya. “Herian,” katanya menyebut namaku dengan datar. Sikap kami bukan seperti teman lama yang harusnya saling kangen dan pakai peluk cium segala. Justru kami saling terpaku. Berjabat tangan pun tidak. Justru kami menyesal dalam hati masing-masing, mengapa kami harus bertemu kembali? Itu terbaca dalam bahasa tubuh kami masing-masing. Sampai-sampai orang yang berada disekitar kami dan melihat gelagat kami akan merasakan aura permusuhan diantara kami.

Ya, seperti yang sudah-sudah..Sepertinya takdir memang berkata demikian pada kami. Kami memang selalu dipertemukan dalam suasana yang saling memerebutkan sesuatu. Suasana saling bersaing. Kalah atau menang. Menang atau kalah. Bahkan bisa saja seri. Ya, Renata adalah selalu menjadi kompetiterku. Kami saling berkompetisi. Benar-benar rival sejati!!

Seperti kali ini. Dia adalah sainganku dalam memerebutkan proyek iklan sabun dari perusahaan retail besar, PT Uniliv. Aku bersama tiga rekanku membawa bendera konsultan jasa periklanan PT Aramada Agency. Sedangkan Renata bersama empat rekannya itu tergabung dalam konsultan periklanan PT Ihwana comm. Sebelumnya kami tidak pernah bertemu (pastinya!). Padahal pada tender iklan yang lain, aku juga pernah berhadapan dengan PT Ihwana, tapi tidak ada Renata didalamnya. Belakangan ku tahu, dia baru saja bergabung dengan konsultan periklanan asal negeri jiran itu sejak 6 bulan lalu. Masih baru memang, tapi dia sudah mampu merebut jabatan cukup tinggi di perusahaannya. Renata yang kukenal memang begitu! Dia begitu mudah meraih apa yang dia mau sejak dulu. Kalau aku satu perusahaan dengannya, tak kan kubiarkan dia merebut posisi empuk itu. Swear!

Untungnya, pertemuan kaku yang tidak menyenangkan diantara kami itu dipotong dengan seseorang yang tiba-tiba muncul di tengah antara aku dan Renata tanpa kami sadari. “Maaf, anda koordinator tim dari PT Ihwana comm? Silahkan anda dan rekan masuk untuk ujian tender pertama,” ujar perempuan itu sambil memersilahkan Renata. Renata sempat terkesima, lalu mengangguk. Matanya masih menatapku, hingga kemudian beranjak dari posisi berdirinya dan mengajak rekan-rekannya masuk ke ruang meeting. Tanpa bercakap apapun padaku. Ijin apa’kek, atau mohon diri begitu, boro-boro! Dia masih angkuh seperti yang dulu…padaku seorang saja.

Sepeninggal Renata, aku duduk bersama rekan-rekanku di sofa yang ada di ruang tunggu. Teman-temanku yang lain asyik membuka laptop, ipod, dan ber-SMS dengan hp-nya sambil menunggu giliran maju presentasi. Justru aku berupaya membuka-buka kembali bahan presentasi yang sudah dibuat dan memelajarinya sungguh-sungguh. Aroma persaingan yang sudah sekian lama hilang kini hadir kembali. Ya, aku tidak boleh kalah dengan Renata dalam merebut tender iklan sabun ini. Tidak boleh! Seketika aku merasakan semangat bersaing yang sudah terkubur rapat kini hadir kembali dalam jiwaku. Tiba-tiba aku merasa kembali menjadi anak SMU. Masa saat aku begitu gila bersaing segala hal dengan Renata. Segala hal. Tiba-tiba aku merasa gila..

“Serius banget, An. Nggak biasanya,” goda Tina, salah satu rekanku yang duduk di sampingku. Aku tertawa kecut. “Eh, memang kamu kenal sama Renata itu? Siapa dia, An?,” ujarnya setengah berbisik. Aku tutup bahan presentasi itu. Aku hempaskan tubuhku yang sejak tadi duduk tegak di sofa yang empuk itu (sayang banget kalau tidak merasakan empuknya sofa besar itu‘loh). Aku benar-benar lelah dan bosan memelajari bahan presentasi itu. Mendengar pertanyaan Tina, aku jadi terpana sendiri. Ragu harus mengatakan apa tentang Renata, hingga akhirnya ku katakan saja, “Aku kenal Renata. Dia satu sekolahan denganku,” kataku dengan tatapan nanar pada Tina. Rekanku yang imut itu hanya bisa berucap, ”Oh, teman sekolah.” Kemudian Tina kembali asyik dengan Ipodnya. Dan aku (malah) tenggelam dengan memori-memori yang lalu. Memori tentang aku dan Renata. Memori yang sebenarnya malas untuk ku kenang kembali. Itu kubuktikan dengan tidak pernah hadirnya aku dalam acara reunian SMU-ku..Karena aku tidak ingin bertemu lagi dengan Renata..

RENATA..Renata..kalau ku ingat persaingan diantara kami semenjak SMU dulu. Aku ingat betul pertama kalinya kami bersaing adalah saat merencanakan acara menjelang akhir semester kedua sekolah. Waktu itu aku menganggap sekolah kami perlu mengadakan lomba grup band antar SMU se-Jakarta Timur (waktu itu sekolah kami memang berada di lokasi itu). Tapi Renata ngotot menginginkan sekolah kami membuka workshop untuk seluruh pelajar SMU yang tertarik belajar menulis puisi dan tulisan yang berbau kesusasteraan. Kami berdua sempat kekeuh dengan keinginan masing-masing, walau akhirnya gagasan Renata yang diluluskan oleh Ketua OSIS. Dan aku merasa kalah.

Sejak itu aku menganggap Renata adalah sainganku. Oke, aku kalah waktu itu. Tapi tidak dengan yang lain, begitu tekadku. Aku tahu, Renata juga merasakan hal yang sama. Jadilah biar kami satu divisi di OSIS, tapi kami dan semua teman tahu kalau ada perang dingin antara aku dan Renata. Bukan saja di OSIS, aku suka bersaing nilai ujian untuk pelajaran-pelajaran yang dimusuhi banyak teman lain. Fisika, Kimia dan Matematika. Semakin nilai diantara kami tinggi, maka dialah pemenangnya. Biar kami tidak sekelas, tapi kami mudah memeroleh info tentang satu sama lain. Termasuk soal nilai ujian kami masing-masing. Dan aku yang sering memenangkan nilai tertinggi untuk 3 pelajaran eksak itu dari Renata. Biar tak ada perjanjian hitam diatas putih tentang persaingan kami, tapi ya..persaingan tetap berjalan mulus. Semulus-mulusnya.

Aku juga masih ingat bagaimana aku belajar mati-matian untuk tetap memertahankan semua nilai mata pelajaranku agar bisa memeroleh PMDK. Aku juga ingat, bagaimana aku berbulan-bulan mengurangi ngemil cokelat agar tubuhku bisa selangsing Renata. Aku melihat Renata tak kalah hebohnya denganku. Kudengar dia juga berupaya keras untuk memeroleh perhatian dari Bu Indah, guru kimia kami yang memang akrab denganku. Aku juga tahu bagaimana Renata begitu gigih mengikuti kursus keyboard agar semahirku, bahkan bisa melebihiku.

Memang, kalau aku ingat semuanya, aku benar-benar merasa gila!! Tak ada habis-habisnya kami bersaing memerebutkan sesuatu atau merasa paling jago, paling ahli, paling pintar dan paling dan paling..yang paling-paling di sekolah.

Oya, yang paling ‘berkesan’ dalam persainganku dengan Renata adalah ketika kami sama-sama jatuh cinta dengan seorang Anjas. Cowok keren yang baru saja masuk ke sekolah kami waktu di kelas dua. Hanya dia masuk ke kelas B. Bukan C sepertiku, dan bukan A seperti Renata. Aku dan Renata masing-masing berusaha mencuri perhatian Anjas sang arjuna. Sampai cewek-cewek teman kami yang lain tidak berani macam-macam dengan Anjas. Belakangan Anjas malah ngeri dengan kami berdua. Jadilah kami berdua gigit jari. Hahaha..yang itu memang memalukan.

Aku jadi senyum-senyum sendiri mengingat memori persaingan itu. Walau sebenarnya aku benci untuk mengingatnya. “An, giliran kita’nih!,” seruan Elinda yang juga rekan satu timku telah mengaburkan lamunanku. “Oya,” aku bangkit dari dudukku dan siap-siap menuju ke ruang meeting. Mendekati pintu, ku berpapasan dengan Renata. Eh..dia tersenyum! Dia tersenyum padaku. “Selamat berjuang’ya An. Aku duluan,” katanya manis. Aku tak membalas sapaannya itu. Aku bingung, ada apa dengan dia? Apakah dia merasa akan memenangkan tender ini? Jangan-jangan dia ingin aku tidak fokus dengan presentasi nanti karena terbayang-bayang dengan senyumnya itu, yang belum pernah dia lakukan padaku! Dia belum pernah begitu’loh! Hem..boleh jadi. Atau dia sudah melobi PT Uniliv untuk mendapatkan proyek iklan sabun itu, atau..ya, prasangka terhadap senyumnya saja bisa kubuat berkepanjangan. Untungnya aku bisa menguasai diri dengan baik, hingga aku lancar melakukan presentasi untuk tender iklan kali ini.

Aku dan timku sangat puas dengan presentasi tadi. Sampai aku lupa soal persainganku dengan Renata. Sampai kemudian ku lihat sosok Renata sedang duduk di sofa ruang tunggu. Aku heran mengapa dia masih disitu, dan.. “Sudah selesai, An? Kamu mau kembali ke kantor atau..kita bisa berbincang-bincang di kafe bawah?,” sapa Renata dengan (lagi-lagi) senyumnya. Ternyata Renata menungguku sejak tadi di ruang tunggu? Atau dia sempat ke kafe atau tempat lain lalu datang kembali ke ruang tunggu sambil mengira-ngira aku sudah selesai presentasi atau belum?. “Ada apa kamu menungguku?,” ujarku ketus. Dia tersenyum (lagi?). “Aku ingin ngobrol-ngobrol saja denganmu. Sudah lama’kan kita tidak bertemu. Lagi, ini sudah jam empat. Tak usah kembali ke kantor, tak apa’kan?,” ujarnya. Elinda mengangguk padaku. Lalu rekan-rekanku meninggalkanku berdua dengan Renata. Mereka kembali ke kantor dengan mobil kantor yang sudah menunggu sejak tadi dengan pak supir.

Renata mengajakku ke kafe yang ada di lantai basement gedung perkantoran milik PT Uniliv itu. Kami mengambil meja yang terletak agak di pojok. Menyendiri. “Aku benar-benar tidak menyangka aku bisa ketemu kamu disini,” katanya membuka percakapan. “Sama,” kataku singkat. “Hei, kamu masih seperti yang kukenal dulu, Angkuh,“ katanya lagi. Aku menatapnya dalam-dalam, sepertinya dia berkaca dengan sikapnya selama ini padaku. Kami memesan jus jeruk. “Sebenarnya kita punya selera yang sama’ya. Sama-sama suka jus jeruk. Sama-sama suka musik. Suka sastra. Suka puisi. Sama-sama suka sama..Anjas. Dan kita sama-sama suka dengan persaingan yang kita jalani,” Renata mengatakan hal itu dengan mimik serius dan sempat terkekeh kala menyebut ‘Anjas‘. Aku tersenyum kecut. Aku sependapat dengannya. Apa yang dikatakannya memang benar. “Kamu benar-benar menikmati persaingan yang sudah kita lalui bersama?,” tanyaku padanya. Renata menghela nafas. Senyum dan sikapnya yang ramah sejak tadi tiba-tiba berubah. Mimik wajahnya kembali seperti Renata yang kukenal. Dia menatap tajam padaku dan menjawab tegas pertanyaanku, “Sangat.”

Renata, entahlah apakah gadis itu normal atau tidak. Dia sungguh menikmati persaingan yang telah aku dan dia jalani bersama. Aku memandanginya dari ujung rambut hingga dada. Dia memang cantik. Tapi bukan pribadi yang menyenangkan. “Lalu, apa maksudmu mengajakku ke kafe ini? Bukan karena kamu kangen padaku’kan?,” aku tertawa kecil. Dia membalas dengan tawanya yang dipaksakan. “Ya..Herian..aku memang tidak bisa membohongimu. Sejak dulu, kita memang tidak pernah jajan bersama‘kan? Apalagi makan bersama, belum pernah curhat bersama juga, iya’kan? Hahaha..aku jadi ingat sampai sekarang, bagaimana Anjas begitu takutnya pada kita. Aku memaksanya untuk ikut ke pesta ultah berdua saja denganku, begitu juga kamu memaksanya juga. Kita masing-masing suka memaksanya nonton film, belajar bersama, sampai-sampai cowok itu ketakutan. Hahaha..kita benar-benar gila’ya? Kita benar-benar membuat orang jadi gila karena kita,” ujar Renata tertawa keras. Orang-orang disekitar kami sampai memerhatikan kami yang duduk nyaris di pojok. Aku pura-pura tidak memerhatikan mereka. Lalu kamu diam. Hening.

“Herian, aku ingin kamu dan timmu untuk tidak melanjutkan mengikuti tender iklan sabun ini. Lebih baik kamu mundur sekarang daripada kamu malu belakangan,” katanya tegas kemudian. Sudah kuduga. Senyumnya memang bukan tulus dari hatinya. Ini Renata yang sebenarnya. “Kamu tidak bisa semena-mena begitu. Apakah kamu bodoh? Yang menentukan siapa yang mendapatkan proyek iklan itu adalah Uniliv. Bukan kamu. Bukan aku. Jadi..biarkan saja semua berjalan seperti adanya. Aku bekerja untuk perusahaanku, dan kamu begitu,” jawabku yang tak kalah tegas. Renata diam. Tampak dia sedang berpikir. Sebenarnya aku sudah tak ingin berlama-lama lagi dengannya di situ. Lalu aku bangkit dari kursi. Sebelumnya aku letakkan uang lima belas ribu di bawah gelas jus jerukku. Renata menarik tanganku. Dia berusaha mencegahku pergi. “Aku belum selesai bicara. Sebentar saja. Aku ingin kamu mengalah kali ini saja. Sudah berapa kali kamu memenangkan persaingan diantara kita, Herian. Proyek ini penting buat aku. Carilah tender iklan yang lain. Cari yang tidak ada akunya,” katanya merajuk.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan permintaannya itu. Dia tak pernah memohon sampai sebegitunya selama kami bersaing dulu. Belum pernah. Tapi sekarang..mengapa dia seolah takut dengan persaingan kali ini? Aku kembali duduk. Renata tampak lega aku mendengar permohonannya untuk tidak meninggalkannya di kafe itu. “Dengar Renata. Kalau kau pikir aku sangat menikmati semua persaingan yang pernah kita lewati sejak dulu, kamu salah. Aku benar-benar gila dibuatnya. Aku jadi tidak bisa menikmati semua yang kuhadapi dengan sesungguhnya. Aku jadi gila karena aku tidak boleh kalah dengan kamu. Aku jadi gila karena yang kupikirkan adalah bagaimana agar aku bisa menjadi yang paling di sekolah. Paling pintar, paling cantik, paling gaul, semua paling dan jangan sampai tersaingi denganmu. Aku benar-benar gila, Ren…” Kami berdua terdiam. Hening sesaat. Kami sama-sama merasakan kelelahan yang sangat dengan persaingan yang kami buat dari dulu itu. Sangat lelah.

“Ren..sebenarnya kamu tidak perlu khawatir’kan, kalau aku yang akan memenangkan tender itu. Dan aku juga tidak usah takut kalau kamu yang bakal menang dengan tender iklan itu juga. Biar keputusan dipegang Uniliv. Kita tidak perlu gila dibuatnya. Aku capek, Ren. Apa kamu tidak capek dengan permainan konyol masa-masa lalu kita itu? Aku ingin menjalani tender itu sesuai dengan yang ku bisa, karena memang itu pekerjaanku. Aku ingin menikmati pekerjaanku dengan sesungguhnya. Tapi aku tidak ingin melakukannya karena ingin bersaing gila-gilaan denganmu. Aku harap kamu juga begitu. Jangan jadi stres,” kataku sambil menggenggam kedua tangannya. Renata diam. Entah apakah omonganku dicerna sesuai dengan harapanku atau dia punya pandangan lain. Terserah. Lalu aku memohon diri padanya, dan pergi meninggalkan dia seorang diri disana.

Sepanjang perjalanan pulang ku berdo’a, semoga ini pertemuanku terakhir dengannya. Biar Elinda yang akan menggantikanku sebagai koordinator tim tender iklan sabun itu kalau lolos tes pertama nanti. Semoga aku tidak bertemu dengan Renata lagi, Tuhan. Jangan bertemu lagi, Tuhan..please.. Apalagi sampai nanti bersaing merebutkan calon suami yang sama. Aduh….

thanks....jeung moon.....mmuuuach....

2 komentar:

  1. Jeng Farra..disini...ini special from Jeng Moon untuk dikau..?? :)

    BalasHapus
  2. yuhuuuuuuuu............
    yoi jeung.....
    very special....
    wuiihhhhhhh......
    mw nambahin????

    BalasHapus